JAKARTA – Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengatakan pada pidato sidang tahunan MPR RI untuk idealnya MPR kembali menjadi lembaga tertinggi sebagaimana disampaikan Presiden ke-5 Republik Indonesia, Megawati Soekarnoputri. Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menyebut usulan Megawati itu bukan untuk merubah suatu sistem pemilu.
“Yang dimaksud oleh Pak Bamsoet Ketua MPR adalah Ibu Megawati mengusulkan tentang pentingnya MPR sebagai lembaga tertinggi negara dengan kewenangan menetapkan suatu pola pembangunan semesta dan berencana atau suatu haluan negara ini yang disampaikan oleh Ibu Megawati Soekarnoputri bukan merubah suatu sistem pemilu presiden,” ujar Hasto kepada wartawan di Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Kamis (17/8/2023.
Mengenai usulan Bambang Soesatyo dan Ketua DPD RI La Nyalla Mattalitti terkait presiden dapat dipilih langsung oleh MPR, Hasto mengatakan hal tersebut harus dilakukan secara cermat.
“Terhadap perubahan sistem politik nasional apalagi menyangkut hal yang sangat fundamental, kedaulatan rakyat harus dilakukan secara cermat dalam suasana hati yang baik dan bening dan terlepas dari vasted off interested. Kalau dari PDIP yang terpenting saat ini adalah bukan merubah sistem Pemilu secara langsung menjadi dipilih oleh MPR tetapi bagaimana pola pembangunan semesta berencana tersebut dapat ditetapkan dan menjadi bagian dari kewenangan MPR,” ungkapnya.
Hasto menyampaikan gagasan itu perlu dicermati dan kaji lebih mendalam. Pihaknya akan intens berkomunikasi dan berdialog dengan Bamsoet.
“Apa yang disampaikan oleh pak Bamsoet ya sebagai gagasan-gagasan ya kita cermati, perlu kajian-kajian yang mendalam. Dan kami ini kan intens berkomunikasi dengan pak Bamsoet sehingga kami akan melakukan dialog-dialog,” ujarnya.
Aspirasi melalui pemilu, jelas Hasto, harus dipertimbangkan secara jernih dengan mendengarkan aspirasi rakyat serta kajian akademi.
“Tetapi sebagai sebuah gagasan itu juga merupakan suatu proses barangkali beliau mencermati dampak-dampak dari pemilu secara langsung yang membelah bangsa. Tapi bagi PDIP hal-hal yang berkaitan dengan kedaulatan rakyat di dalam menyampaikan aspirasinya melalui pemilu harus betul-betul dipertimbangkan secara jernih dengan mendengarkan aspirasi rakyat dan juga melalui kajian-kajian akademis,” jelasnya.
Sebelumnya, Bambang Soesatyo mengungkapkan perubahan konstitusi pada era reformasi telah menata ulang kedudukan, fungsi dan wewenang lembaga-lembaga negara yang sudah ada, sekaligus menciptakan lembaga-lembaga negara yang baru. Penataan ulang itu juga terjadi pada Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) yang semula merupakan lembaga tertinggi negara, berubah kedudukannya menjadi lembaga tinggi negara.
Ia mengatakan sesuai amanat ketentuan pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar, sebagai representasi dari prinsip daulat rakyat, maka MPR RI seharusnya tetap dapat diatribusikan dengan kewenangan subyektif superlatif dan kewajiban hukum untuk mengambil keputusan atau penetapan yang bersifat pengaturan guna mengatasi dampak dari suatu keadaan kahar fiskal maupun kahar politik yang tidak dapat diantisipasi dan tidak bisa dikendalikan secara wajar. Hal tersebut diungkapkan olehnya saat pidato pengantar Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2023 dan Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI Tahun 2023 di Jakarta, hari ini.
“Idealnya memang MPR RI dikembalikan menjadi lembaga tertinggi negara sebagaimana disampaikan Presiden ke-5 Republik Indonesia, Ibu Megawati Soekarnoputri saat Hari Jadi ke-58 Lemhannas, 23 Mei 2023 yang lalu. Karena itu, setelah 25 tahun memasuki era Reformasi sejak tahun 1998, kini saatnya kita merenungkan kembali penataan lembaga-lembaga negara,” kata Bamsoet dalam keterangannya, Rabu (16/8/23).
Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini menjelaskan manifestasi dari konsepsi kedaulatan rakyat, salah satunya mewujud pada penyelenggaraan pemilu. Pemerintah telah memutuskan pelaksanaan Pemilu dan Pilpres 2024 pada tanggal 14 Februari 2024. Semua pihak telah bekerja keras menyiapkannya agar berjalan secara Luber dan Jurdil. Pelaksanaan pemilu lima tahun sekali merupakan perintah langsung Pasal 22E konstitusi.
Sebagaimana diketahui, pemilu terkait dengan masa jabatan anggota DPR RI, DPD RI, DPRD provinsi hingga kabupaten/kota, serta presiden dan wakil presiden. Masa jabatan seluruh menteri anggota kabinet, juga mengikuti masa jabatan presiden dan wakil presiden yang telah ditentukan oleh undang-undang dasar hanya selama lima tahun.
“Persoalannya, bagaimana jika menjelang pemilu terjadi sesuatu di luar dugaan, seperti bencana alam yang dahsyat berskala besar, peperangan, pemberontakan, atau pandemi yang tidak segera dapat diatasi, atau keadaan darurat negara yang menyebabkan pelaksanaan Pemilu tidak dapat diselenggarakan tepat pada waktunya, sesuai perintah konstitusi. Maka secara hukum, tidak ada presiden dan/atau wakil presiden yang terpilih sebagai produk Pemilu,” jelasnya.
(END)
(Source: detik.com)